Pernyataan terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai aliran dana sebesar Rp 195 miliar ke rekening bendahara 21 partai politik semakin menegaskan perlunya pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal Koruptor. Temuan ini bukan hanya mengejutkan, tetapi juga mencerminkan potensi besar korupsi yang berakar dalam sistem politik dan administrasi negara.
Dengan lebih dari Rp 1.200 triliun yang diduga mengalir ke kantong pribadi politikus dan aparatur sipil negara (ASN), kita dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa banyak pihak yang mengeksploitasi kekuasaan untuk kepentingan pribadi. RUU Perampasan Aset sangat krusial untuk memastikan bahwa harta yang diperoleh secara ilegal dapat disita dan dikembalikan kepada negara. Pengesahan RUU ini akan memberi landasan hukum yang kuat bagi penegak hukum untuk bertindak tegas terhadap para koruptor.
Di sisi lain, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal berperan penting dalam mencegah aliran dana ilegal yang sering kali dilakukan melalui transaksi tunai. Dengan membatasi penggunaan uang kartal, transparansi dalam transaksi keuangan akan meningkat, sehingga mempersulit praktik-praktik korupsi.
Kedua RUU ini tidak hanya berfungsi sebagai alat hukum, tetapi juga sebagai upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah. Jika DPR terus menunda pengesahan, maka pesan yang disampaikan adalah bahwa tindakan korupsi akan terus dibiarkan. Sudah saatnya pemerintah menunjukkan komitmennya dalam memberantas korupsi secara nyata dan efektif. Pengesahan kedua RUU ini adalah langkah awal yang sangat penting untuk menciptakan sistem yang lebih bersih dan akuntabel.(*)