Medan | galasibot.co.id
Isu mengenai dugaan ijazah palsu yang menimpa Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan publik. Beberapa pihak mengklaim—berdasarkan interpretasi dan kajian digital forensik—bahwa dokumen akademik milik Presiden Jokowi diragukan keasliannya. Klaim ini menyebar dengan cepat melalui media sosial, blog, hingga kanal YouTube, meskipun tidak disertai bukti konkret yang dapat diuji secara hukum di persidangan.
Volmar Lumbangaol, SH – Praktisi Hukum, Alumni Fakultas Hukum Universitas Katolik Santo Thomas Medan menilai bahwa isu ini tidak hanya bermasalah dari sisi substansi tuduhan, tetapi juga telah melanggar prinsip dasar dalam hukum pidana: asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Padahal dalam sistem hukum Indonesia yang berlandaskan negara hukum (rechsstaat), seseorang tidak dapat dianggap bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Menyebarkan tuduhan secara terbuka tanpa proses hukum adalah bentuk penghukuman di ruang publik yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan.
Lebih dari sekadar pelanggaran etika, tindakan menyebarluaskan informasi seperti ini—yang belum terbukti dan cenderung mengandung unsur penghinaan—berpotensi melanggar hukum positif. Khususnya dalam ranah hukum digital, tindakan ini dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mengatur tentang larangan menyebarkan informasi yang bermuatan penghinaan atau pencemaran nama baik.
Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenai pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp750 juta.
Disampaikan juga bahwa sejumlah gugatan hukum terkait tuduhan ini telah pernah diajukan ke pengadilan, termasuk oleh individu yang menggugat keabsahan ijazah Presiden Jokowi dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun, majelis hakim menolak gugatan tersebut dengan tegas. Dalam pertimbangannya, hakim menilai bahwa bukti yang diajukan tidak cukup kuat dan tidak relevan dengan pokok perkara. Hakim juga menekankan bahwa dalil gugatan tersebut bersifat asumtif dan tidak didasarkan pada alat bukti yang sah.
Pihak Universitas Gadjah Mada sebagai lembaga pendidikan resmi pun telah memberikan klarifikasi terbuka kepada publik. Mereka menyatakan bahwa Presiden Jokowi adalah benar lulusan Fakultas Kehutanan tahun 1985. Pernyataan ini diperkuat dengan data akademik dan arsip yang tercatat dalam sistem universitas. Rektor UGM bahkan menyampaikan langsung bahwa tidak ada keraguan terhadap status kelulusan Jokowi sebagai alumni.
“Kami pastikan Presiden Joko Widodo adalah alumni UGM yang sah. Data beliau tercatat secara resmi dan lengkap dalam sistem akademik kami,” ujar Rektor UGM dalam konferensi pers.
Sebagaimana kita pahami, dalam proses hukum pidana, keberadaan ahli memang dapat membantu memberikan perspektif teknis atas suatu perkara. Namun, pendapat ahli tidak mengikat hakim. Keterangan ahli hanya berfungsi sebagai alat bantu pembuktian, bukan sebagai penentu putusan. Hakim tetap berpegang pada alat bukti sah lainnya yang diperiksa di persidangan. Oleh karena itu, walaupun ada pendapat ahli forensik digital yang menyatakan ijazah Presiden Jokowi diragukan, hal itu belum tentu cukup menjadi dasar hukum untuk menyatakan adanya tindak pidana.
Volmar mengajak masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi oleh opini yang belum tentu benar dan cenderung bersifat fitnah. Apalagi jika informasi tersebut disebarkan tanpa proses klarifikasi atau verifikasi. Dalam ruang digital saat ini, jejak digital menjadi bukti hukum. Bila informasi yang disebarkan ternyata palsu, maka penyebarnya pun dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana.
Penting untuk diingat bahwa hukum Indonesia memberikan perlindungan terhadap nama baik seseorang. Tuduhan yang disebarkan tanpa dasar hukum tidak hanya berbahaya secara sosial, tetapi juga bisa menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak penyebar. Penegakan hukum atas pelanggaran seperti ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga edukatif bagi masyarakat agar lebih cerdas dan bijak dalam bermedia sosial.
Sejauh ini, tidak ada satu pun putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ijazah Presiden Jokowi adalah palsu. Yang ada justru klarifikasi resmi dari lembaga terkait dan putusan pengadilan yang menolak gugatan. Maka dari itu, tuduhan yang terus dipelihara dan dipublikasikan secara sepihak tanpa dasar hukum bisa dikategorikan sebagai penyebaran informasi bohong, hoaks, dan pencemaran nama baik.
Menjaga etika berkomunikasi dan akurasi informasi dalam ruang digital adalah tanggung jawab kita bersama. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan opini tanpa dasar menjadi konsumsi publik yang membentuk persepsi keliru. Negara hukum dibangun atas dasar penghormatan terhadap proses, bukan atas dasar tuduhan yang liar.
Mari kita kembalikan semua tuduhan kepada mekanisme hukum yang sah, bukan melalui ruang publik yang cenderung bias dan penuh kepentingan, Ujar Volmar.(*)
- #IjazahJokowi
- #UUITE
- #PradugaTakBersalah
- #HukumDigitalIndonesia
- #PencemaranNamaBaik