Kenaikan gaji anggota DPR sebesar Rp 3 juta per bulan di tengah kondisi ekonomi rakyat yang makin menyesakkan memang menjadi pemicu amarah publik. Rakyat yang kini dicekik oleh kebijakan fiskal ketat, naiknya tarif pajak, dan semakin sempitnya ruang hidup sosial-ekonomi merasa dilecehkan oleh wakil-wakilnya yang dianggap lebih sibuk merawat kepentingan diri dan partainya daripada memperjuangkan nasib konstituennya.
Tidak heran, desakan untuk membubarkan DPR dan MPR mengemuka sebagai luapan kekecewaan massal. Media sosial dipenuhi tagar #BubarkanDPR, aksi demonstrasi di jalanan mulai menyuarakan narasi delegitimasi parlemen, dan sebagian bahkan menyerukan revisi konstitusi demi memotong “pengeluaran politik” negara.
Namun dalam perspektif hukum tata negara, gagasan ini—betapapun menggugah emosi—adalah langkah berbahaya yang dapat merusak fondasi demokrasi dan sistem konstitusi Indonesia.
1. Kemarahan Publik: Sah, Tapi Tidak Bisa Membenarkan Langkah Inkonstitusional
Kemarahan rakyat terhadap DPR adalah hal yang sah secara demokratis. Kritik terhadap lembaga negara adalah wujud partisipasi aktif warga negara dalam kehidupan politik. Namun, menyerukan pembubaran DPR dan MPR tanpa melalui mekanisme konstitusional yang sah adalah tindakan inkonstitusional.
Pasal 1 ayat (2) dan (3) UUD 1945 menegaskan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Artinya, semua perubahan lembaga negara harus melalui prosedur hukum, bukan tekanan massa atau kekuasaan.
2. DPR dan MPR: Lemah, Tapi Tetap Pilar Demokrasi
Betul bahwa banyak anggota DPR tidak memenuhi harapan rakyat. Banyak yang lebih sibuk mengatur proyek, bertikai soal kursi, atau menyetujui kebijakan pro-elite. Namun, kita tidak bisa mengabaikan bahwa DPR dan MPR adalah pilar sistem perwakilan rakyat dalam demokrasi Indonesia.
Tanpa DPR:
Tidak ada yang mewakili rakyat dalam legislasi.
Tidak ada fungsi pengawasan terhadap eksekutif.
Semua kekuasaan akan terpusat pada presiden.
Tanpa MPR:
Tidak ada lembaga yang bisa secara konstitusional mengubah UUD.
Legitimasi pelantikan dan pemberhentian presiden akan menjadi masalah hukum besar.
3. Pembubaran = Kudeta Konstitusional
Membubarkan DPR dan MPR berarti menghilangkan mekanisme checks and balances, yang justru menjadi benteng dari penyalahgunaan kekuasaan eksekutif. Dalam sejarah, negara-negara seperti Filipina di bawah Marcos atau Venezuela di bawah Maduro melakukan hal serupa—hasilnya adalah otoritarianisme, krisis ekonomi, dan keruntuhan kepercayaan publik.
Di Indonesia sendiri, tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang memberikan kewenangan pada siapa pun—bahkan presiden sekalipun—untuk membubarkan DPR atau MPR. Maka, upaya ini, jika dilakukan, bukan hanya ilegal, tapi juga bisa dianggap sebagai kudeta terhadap konstitusi (constitutional coup).
4. Solusinya: Reformasi, Bukan Penghancuran
Rakyat benar dalam mengkritik DPR. Tapi jalan keluar dari ketidakpercayaan publik adalah reformasi, bukan penghancuran. Perlu didorong:
Transparansi kinerja DPR.
Evaluasi tunjangan dan hak keuangan yang berkeadilan.
Peningkatan akuntabilitas melalui partisipasi dan kontrol publik.
Pendidikan politik agar rakyat memilih wakil yang berintegritas.
Desakan untuk membubarkan DPR dan MPR adalah refleksi kegagalan elite dalam membangun kepercayaan rakyat. Namun membubarkan lembaga perwakilan bukanlah solusi—justru itu akan menjerumuskan bangsa ke dalam jurang otoritarianisme dan instabilitas politik.
Demokrasi yang sehat tidak dibangun dengan menghancurkan institusi, tapi dengan memperbaikinya melalui partisipasi rakyat yang cerdas, konsisten, dan konstitusional
Source:
Penulis berita :Wilfrid Sinaga