Medan | gakasibot co id
Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, mengumumkan langkah strategis yang menjadi tonggak baru dalam kebijakan agraria nasional. Dalam Rapat Koordinasi Pengelolaan Pertanahan dan Tata Ruang di Provinsi Sumatera Utara yang digelar di Aula Raja Inal Siregar, Kantor Gubernur, Jalan Diponegoro 30, Medan, Rabu (7/5/2025), Nusron Wahid menyatakan bahwa lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) seluas 5.873 hektare di Sumatera Utara kini telah resmi menjadi tanah negara bebas.
Kepastian hukum atas status tanah tersebut bukan sekadar formalitas administratif, tetapi mencerminkan komitmen pemerintah dalam melaksanakan reforma agraria yang berkeadilan. Nusron Wahid menegaskan, sejak tanah tersebut tidak lagi dalam penguasaan PTPN, kewenangan pemberian hak atas lahan tersebut kini sepenuhnya berada di tangan Kementerian ATR/BPN.
“Itu akan kami tetapkan sebagai target objek reforma agraria dan kami akan rapat khusus dengan Pak Gubernur lagi, sama Bupati, untuk mengatur ini, supaya tercermin dan tercipta prinsip keadilan dan pemerataan,” ujar Nusron Wahid dalam pernyataan resminya.
Akar Masalah dan Harapan Baru
Permasalahan pertanahan di Sumatera Utara memang telah menjadi isu klasik selama beberapa dekade. Ketimpangan distribusi tanah, konflik agraria yang melibatkan masyarakat adat, perusahaan negara maupun swasta, serta lemahnya kepastian hukum menjadi faktor yang memperumit penataan agraria di provinsi ini. Maka, pengakuan resmi bahwa 5.873 hektare lahan eks HGU telah berstatus tanah negara membuka peluang besar untuk redistribusi yang berkeadilan.
Kehadiran Menteri ATR/BPN di Medan pun tak sekadar simbolik. Ia menggarisbawahi bahwa penyelesaian terhadap status lahan eks HGU tersebut akan diikuti dengan rapat koordinasi lanjutan bersama Gubernur Sumatera Utara Bobby Afif Nasution dan para kepala daerah di kawasan terkait. Nusron menegaskan, prinsip kehati-hatian dan asas keadilan akan menjadi pondasi utama dalam setiap penetapan hak atas tanah.
“Jangan sampai orang yang tidak berhak mendapat, sebaliknya juga jangan sampai orang yang berhak malah tidak mendapat,” tegasnya.
Penyelesaian Konflik: Jalan Tengah
Selain persoalan lahan eks HGU, rapat koordinasi juga membahas upaya penyelesaian konflik pertanahan yang kerap kali menimbulkan gejolak sosial. Nusron menekankan pentingnya pendekatan win-win solution, sebuah jalan tengah yang menjamin hak masyarakat namun tetap melindungi aset negara.
“Masyarakatnya bahagia, tetapi pemerintah tidak dirugikan dalam arti tidak ada aset yang terdisrupsi,” ujarnya.
Pola penyelesaian konflik pertanahan ini diharapkan menjadi model nasional. Dengan melibatkan berbagai pihak—pemerintah daerah, tokoh masyarakat, dan lembaga hukum—Menteri ATR/BPN yakin bahwa stabilitas sosial dapat tercapai sekaligus memperkuat kepastian hukum atas tanah.
Target Sertifikasi Tanah: Dari 54% ke 70% dalam 4 Tahun
Isu lain yang mengemuka dalam rakor adalah percepatan sertifikasi tanah di Sumatera Utara. Dari total 4 juta hektare luas daratan di provinsi ini, baru sekitar 2 juta hektare (54 persen) yang telah bersertifikat. Pemerintah pusat menargetkan peningkatan cakupan sertifikasi menjadi 70 persen dalam empat tahun ke depan.
Peningkatan target ini bukan tanpa alasan. Sertifikat tanah menjadi dasar kepastian hukum bagi pemilik lahan dan merupakan instrumen penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis aset. Sertifikasi tanah juga akan mempermudah masyarakat dalam mendapatkan akses ke perbankan dan program-program pemberdayaan lainnya.
Gubernur Sumut: Hadirnya Menteri Adalah Harapan
Dalam kesempatan yang sama, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Afif Nasution, menyampaikan apresiasinya atas kehadiran langsung Menteri ATR/BPN. Ia mengakui bahwa permasalahan pertanahan di Sumatera Utara memang kompleks dan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah pusat.
“Permasalahan pertanahan di Sumut memang banyak. Maka kami berharap kehadiran Pak Menteri ini bisa menjadi jalan keluar dari keruwetan yang ada,” ucap Bobby.
Reforma Agraria Bukan Sekadar Retorika
Langkah yang diambil oleh Kementerian ATR/BPN di bawah kepemimpinan Nusron Wahid membuktikan bahwa reforma agraria bukan sekadar retorika politik. Penetapan 5.873 hektare lahan eks HGU sebagai tanah negara adalah aksi nyata, namun pekerjaan besar belum selesai. Tantangan terbesar adalah memastikan bahwa tanah tersebut jatuh ke tangan masyarakat yang benar-benar berhak dan mampu mengelolanya secara produktif.
Dalam konteks yang lebih luas, keberhasilan reforma agraria di Sumatera Utara bisa menjadi cetak biru bagi provinsi lain. Dengan pendekatan kolaboratif, berbasis data, dan menjunjung tinggi keadilan sosial, cita-cita besar pemerataan agraria di Indonesia perlahan tapi pasti bisa diwujudkan.(*)