Parapat | galasibot.co.id
Tim Ekspedisi Banjir Bandang Parapat, yang terdiri dari akademisi, rohaniawan, dan aktivis lingkungan dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) serta Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, melakukan penelusuran langsung alur longsor yang terjadi di daerah Simarbalatuk-Sitahoan-
Penelusuran dan Temuan Tim Ekspedisi
Tim memulai perjalanan dari harangan Bangun Dolok dan mengikuti aliran Sungai Batu Gaga yang membanjiri Kota Parapat. Selama perjalanan, ditemukan adanya aktivitas perladangan oleh masyarakat sekitar yang masih menerapkan sistem agroforestri, dengan tanaman keras seperti kopi, cengkeh, coklat, salak, dan durian, yang berinteraksi dengan pohon-pohon alami. Meskipun sistem perladangan ini ramah lingkungan, tim menemukan bahwa longsor yang terjadi di Simarbalatuk menjadi salah satu pemicu utama banjir.
Perjalanan berlanjut menuju Simarbalatuk, di mana tim menemukan jejak longsor di ketinggian 1.100–1.200 mdpl, dengan panjang sekitar 300-400 meter dan lebar 4–5 meter. Material longsor yang terdiri dari batu besar, sedang, dan tanah bercampur tanah liat sangat berpotensi membentuk kolam-kolam air yang bisa menjadi ancaman banjir susulan. Lokasi longsor ini berjarak sekitar 2,16 kilometer dari jembatan Sungai Batu Gaga, tempat air meluap pada 16 Maret 2025 lalu.
Analisis Penyebab Banjir Bandang
Meskipun hutan di sekitar titik longsor terlihat masih cukup terjaga, tim ekspedisi menemukan bahwa daya dukung lingkungan kawasan tersebut semakin menurun. Data dari riset yang dilakukan oleh KSPPM, AMAN Tano Batak, Auriga Nusantara, dan JAMSU mengungkapkan bahwa dalam 20 tahun terakhir, luas hutan alam di kawasan sekitar Parapat telah menyusut sebanyak 6.503 hektar, yang sebagian besar berubah menjadi kebun eukaliptus. Alih fungsi hutan ini diduga kuat sebagai faktor utama penurunan daya dukung alam di kawasan Simarbalatuk, yang akhirnya memicu terjadinya longsor dan banjir bandang.
Penurunan daya dukung lingkungan ini, yang juga diakibatkan oleh deforestasi dan perubahan iklim, semakin memperburuk kondisi ekosistem Parapat. Longsor yang terjadi menunjukkan bahwa kawasan ini sudah kehilangan kemampuan untuk menahan air hujan, yang pada akhirnya mengarah pada bencana banjir bandang.
Dampak dan Potensi Bencana Susulan
Banjir bandang yang terjadi pada 16 Maret 2025 bukanlah yang pertama kalinya. Sebelumnya, pada 2021, Parapat juga mengalami peristiwa serupa. Hal ini menandakan adanya masalah sistemik dalam pengelolaan ekosistem kawasan Danau Toba. Jika alih fungsi hutan terus dibiarkan tanpa pengendalian, bencana serupa diprediksi akan semakin sering terjadi, dengan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat dan perekonomian lokal.
Tim ekspedisi juga mengingatkan potensi bencana susulan akibat material longsor yang masih tersangkut di lokasi. Pepohonan tumbang, batu, dan tanah yang terjebak dapat memicu banjir lebih lanjut, yang memerlukan penanganan segera untuk mencegah kerugian lebih besar.
Langkah-langkah yang Harus Diambil
Untuk mencegah terulangnya bencana serupa, tim mengusulkan beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan oleh pemerintah:
- Pembersihan Material Longsor: Segera mengirimkan tim untuk mengevakuasi dan membersihkan area longsor sebelum musim hujan berikutnya datang.
- Moratorium Penebangan Hutan: Pemerintah harus menegaskan moratorium penebangan hutan alam dan mengevaluasi aktivitas perusahaan yang terlibat dalam konversi hutan di kawasan ini.
- Restorasi Ekosistem: Melakukan penghijauan dengan menanam kembali kawasan hutan yang telah rusak, serta memprioritaskan reboisasi dengan tanaman yang dapat mendukung kestabilan tanah.
- Pengelolaan Hutan yang Ketat: Kebijakan pengelolaan hutan harus diperketat, dan tidak ada lagi izin eksploitasi yang merusak keseimbangan ekosistem kawasan Parapat dan Danau Toba.
Tanpa intervensi serius dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, bencana ekologis seperti yang terjadi di Parapat akan terus berulang. Krisis ini merupakan akibat dari eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Pemerintah harus bertindak tegas untuk melindungi lingkungan dan masyarakat, serta memastikan kelestarian ekosistem Danau Toba demi keberlanjutan hidup generasi mendatang.(*)