Konflik agraria yang kembali mencuat antara masyarakat Sihaporas dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) bukan hanya menyisakan luka fisik dan sosial, tetapi juga mengancam satu hal paling berharga yang diwariskan leluhur: kearifan lokal. Dalam insiden terbaru yang menimbulkan korban dari kedua belah pihak, terlihat bahwa upaya penyelesaian berbasis kearifan lokal mulai terkikis oleh gelombang tuntutan sektoral dan agenda kepentingan yang lebih luas.
Konflik ini mengemuka dalam konteks klaim penguasaan lahan seluas 2050 hektare oleh kelompok masyarakat Lamtoras Sihaporas, 1287 hektare di antaranya berada di dalam konsesi PT TPL, dan sisanya berada di luar area tersebut. Klaim ini didasarkan pada narasi sebagai bagian dari Hutan Adat, sebagaimana didorong oleh organisasi masyarakat adat (AMAN).
Namun, pendekatan sepihak ini cenderung mengabaikan struktur historis dan hukum adat Simalungun, yang berbeda dari konstruksi Masyarakat Hukum Adat (MHA) di daerah lain.
Sejarah Kearifan Lokal Simalungun
Secara historis, wilayah Simalungun diatur melalui sistem kerajaan Marpitu (tujuh kerajaan), di mana penguasaan tanah berada di bawah otoritas Partuanon, bukan komunitas adat seperti di wilayah lain. Wilayah Sihaporas sendiri merupakan bagian dari pemberian Tuan Sipolha bermarga Damanik kepada leluhur masyarakat Sihaporas yang berasal dari Samosir — sebuah bentuk asimilasi sosial yang damai dan beretika, bukan penguasaan.
Kearifan lokal Simalungun justru menekankan keramahan dan penerimaan terhadap pendatang. Bahkan banyak dari mereka disarankan menggunakan marga Simalungun sebagai bentuk penyatuan identitas. Namun tetap, otoritas pengelolaan lahan dan hutan tetap berada di tangan Simada Talun atau Sipukkah Huta, yakni pihak yang ditunjuk berdasarkan garis raja-raja kerajaan Marpitu.
Legalitas Hutan Adat yang Belum Terpenuhi
Sesuai Permen LHK No. 9 Tahun 2021, untuk bisa mengakui suatu wilayah sebagai Hutan Adat, harus ada pengukuhan MHA melalui Perda atau Keputusan Bupati. Fakta hukumnya, hingga kini tidak ada satu pun Perda atau SK Bupati yang menetapkan keberadaan MHA di Simalungun. Maka, klaim Hutan Adat tanpa dasar yuridis ini menjadi cacat secara legal dan bisa menimbulkan konflik horizontal maupun vertikal yang lebih luas.
Surat Kementerian LHK tertanggal 14 Maret 2023 bahkan telah menegaskan bahwa klaim sepihak semacam ini tidak dapat dijadikan dasar hukum penguasaan lahan, apalagi untuk mengusir pemegang konsesi sah seperti TPL.
Solusi: Membangun Dialog Berbasis Sejarah dan Hukum Adat
Penyelesaian konflik ini tidak bisa hanya mengandalkan tekanan massa atau framing media. Diperlukan:
- Dialog terbuka yang melibatkan Pemkab, tokoh adat, dan para pihak, dengan landasan sejarah dan hukum adat yang otentik.
- Penegasan ulang otoritas Partuanon dalam pengelolaan tanah adat, untuk mencegah politisasi isu adat oleh kelompok luar.
- Pemanfaatan teknologi pemetaan partisipatif untuk menghindari tumpang tindih batas wilayah.
- Keterlibatan lembaga netral seperti akademisi sejarah, ahli agraria, dan tokoh masyarakat yang memahami sejarah lokal Simalungun secara utuh.
- Evaluasi terhadap proses pemberian izin konsesi oleh pemerintah pusat agar tidak melukai rasa keadilan masyarakat setempat.
Jangan Rusak Kearifan yang Sudah Terpelihara
Jangan biarkan konflik agraria yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin malah menjadi lahan pertarungan identitas yang memecah masyarakat. Kearifan lokal Simalungun adalah warisan damai, bukan senjata konflik. Jangan rusak dengan paksaan kehendak dari luar struktur adat.
TPL dan masyarakat Lamtoras Sihaporas harus sama-sama menahan diri. Biarlah hukum adat dan peraturan negara menjadi panglima, bukan provokasi emosional atau penggiringan opini.
Habonaron do bona—kebenaran adalah yang utama. Mari kita jaga itu bersama.(Irjen Pol Purn Drs Maruli Wagner Damanik,M.AP Pengamat Sosial dan Budaya, Pemerhati Hukum Adat Simalungun)